Pkl. 06.30, di balik jendela kayu tak berwarna
Kembali saat kubuka jendela kayu yang tak berwarna. Kurasakan aroma embun dan kabut pagi yang belum sempurnanya pudar terasa. Kicau burung kecil yang tak pernah sunyi untuk mengisi instrument alam menyentuh jiwa-jiwa yang telah lelap terbuai dalam mimpi-mimpi indahnya. Pancaran cahaya mentari berlari kecil ke setiap sudut dunia,
membisikan kata lembut di setiap jiwa yang masih terbuai dalam mimpi-mimpi indahnya untuk segera memulai hidup baru, pancaranya meleburkan warna-warni alam yang begitu anggun. Menjadi sebuah lukisan alam kebesaran Tuhan yang nyata, sungguh begitu menyejukan hati dan jiwa. Inilah lukisan alam di balik jendela kayu tak berwarna. Lukisan yang penuh dengan bebunga merekah warna-warni pancaran mentari. Lukisan alam dengan sepasang kupu-kupu berwarna ungu dan biru berkejaran riang memadu kasih di antara tarian bebunga yang bergoyang gemulai indah tertiup sisa-sisa angin malam. Terlihat awan halus mulai membentuk mengisyaratkan sapa kepada alam. Dan Kumulai hidupku dari balik jendela kayu tak berwarna ini. Dengan nafas lembut yang megalir perlahan bersama embun pagi, menyatu dalam warna-warni pelangi. Semakin sempurna alam melukiskan keindahannya. “Selamat pagi burung-burung kecil, selamat pagi kupu-kupu, selamat pagi juga itik ayam, dan kamu juga bunga, mari kita berdoa kepada Tuhan semoga Tuhan tetap menjaga keindahan alam ini.” Aku pun tak mau ketinggalan menyapa alam yang begitu indah ini. Malu rasanya jika aku terlambat menyambut indahnya keagungan Tuhan ini. “Ya tuhan. Aku harap lukisan hidup ini terpelihara utuh meski jendela kayu ini kelak tetap tak berwarna”.
membisikan kata lembut di setiap jiwa yang masih terbuai dalam mimpi-mimpi indahnya untuk segera memulai hidup baru, pancaranya meleburkan warna-warni alam yang begitu anggun. Menjadi sebuah lukisan alam kebesaran Tuhan yang nyata, sungguh begitu menyejukan hati dan jiwa. Inilah lukisan alam di balik jendela kayu tak berwarna. Lukisan yang penuh dengan bebunga merekah warna-warni pancaran mentari. Lukisan alam dengan sepasang kupu-kupu berwarna ungu dan biru berkejaran riang memadu kasih di antara tarian bebunga yang bergoyang gemulai indah tertiup sisa-sisa angin malam. Terlihat awan halus mulai membentuk mengisyaratkan sapa kepada alam. Dan Kumulai hidupku dari balik jendela kayu tak berwarna ini. Dengan nafas lembut yang megalir perlahan bersama embun pagi, menyatu dalam warna-warni pelangi. Semakin sempurna alam melukiskan keindahannya. “Selamat pagi burung-burung kecil, selamat pagi kupu-kupu, selamat pagi juga itik ayam, dan kamu juga bunga, mari kita berdoa kepada Tuhan semoga Tuhan tetap menjaga keindahan alam ini.” Aku pun tak mau ketinggalan menyapa alam yang begitu indah ini. Malu rasanya jika aku terlambat menyambut indahnya keagungan Tuhan ini. “Ya tuhan. Aku harap lukisan hidup ini terpelihara utuh meski jendela kayu ini kelak tetap tak berwarna”.
***
Pkl. 07.00, di balik jendela kayu tak berwarna
Mentari sudah mulai tersenyum menari bersama awan putih di atas hamparan permadani biru. Embun pun malu berlari menjauh menjelajah ruang yang luas di atas tanah hijau. Kini bukan hanya bebunga menari tertiup sisa angin malam, pun ilalang dan dedaunan di pohon tergoda menari bergoyang indah tertiup angin kehidupan yang ramah, bebunga yang cantik nan jelita melambai-lambai mempesona. Ikut menyapa alam yang damai. Itik ayam pun mulai bercicit menggantikan instrument burung kecil yang mulai bersiap mengepakan sayap kecilnya menjelajah kembara alam yang tak berujung. Lembu-lembu mulai merumput melukis corak putih hitamnya di atas hamparan tanah hijau yang luas. Jiwa-jiwa terbuai kembali tumbuh penuh cita dan asa untuk segera menyentuh kebahagiaan seutuhnya. “Ya tuhan, di pagi ini aku ikhlas bertasbih atas keagungan kalimatMu, di atas fitrah islam agama muhammad. Dan di atas millah bapak kami ibrahim yang hanif. Akan aku biarkan jendela kayu tak berwarna ini terbuka lebar membingkai lukisan alam kebesaranMu, Tuhan nan agung”.
***
Mentari kian berlalari jauh memutih jernih, tiada letih bertasbih mensucikan Dzat yang maha Kasih. Dzat yang menebarkan kasih kepada seluruh jiwa-jiwa yang letih tertatih-tatih patuh akan titah Tuhan yang maha Gagah. Dan aku mulai melangkah membawa pasrah bertawakal meraih asa dan cita. Akan tetap ku biarkan jendela kayu tak berwarna ini terbuka lebar membingkai lukisan alam kebesaran Tuhan yang teramat agung. “Rabbi... bimbinglah setiap langkah ini menjadi lampah yang tak pernah lelah menyusuri jalan dakwah. Menjadi lampah yang penuh dengan berkah”.
***
Pkl. 17.30, di balik jendela kayu tak berwarna
Sesaat saat ku Kembali rehat dari rasa penat yang melekat padat di sekat-sekat belikat. Kuhampiri jendela kayu tak berwarna yang sejak itu kubiarkan terbuka lebar membingkai lukisan alam keagungan Tuhan. Ada sedikit warna kuning kemerahan yang melebur tipis di setiap sisi jendela kayu tak berwarna ini, meleleh halus ke setiap sudut ruang berbilik dengan balok-balok yang dulu kokoh menyanggahnya kini kian hari kian bubuk menjadi serbuk-serbuk yang lapuk. Ku lepaskan pandangan ini mengembara di atas langit yang kuning kemerahan membara. Bias warna yang merona redup namun tiada menyilaukan. Kubiarkan nafas kecil terbang mengawang berdansa bersama angin yang mulai terasa dingin. Pepohonan melambai tenang menjadi isyarat terakhir melepas mentari yang perlahan berlari ke dasar bumi. semilir angin yang terasa lembut membelai setiap helai dari rambutku, seketika melanglangbuana menaburkan suasana gulita bagaikan panggung pentas menyambut sang rembulan untuk mempertunjukan sinarnya yang terang benderang dikuti tarian bintang-bintang menjelma bagai peri-peri kecil dengan gaun cantik yang kemerlip indah. Tak ketinggalan iringan instrument alam, kini lantunan dzikir para jangkrik dengan lirik yang menarik, asyik tak berisik. Maha suci Engkau yang menata indahnya alam dan isinya. Sungguh pantas jikalah Engkau bersumpah dengan nama malam bila gelapnya telah menutupi seisi alam. Dengan gugusan bintang yang bertebaran bagaikan pernak-pernik mutiara terindah yang terjaga dan termahal di dunia. Maha suci engkau atas segala keagunganMu. Di sore ini aku ikhlas bertasbih bersyukur atas segala nikmatMu dan kuhitung amalku. Terimalah meski setitik dari kebajikanku dan ampunkan setumpuk dari keburukanku. Sungguh aku berlindung kepada-Mu bila langit dengan warna biru dan hitamnya mulai terbelah, bila mentari terpecah belah, bila awan putih yang lembut mulai gelap menakutkan, bila bumi dengan tanah hijau yang luas itu terbelah dan memuntahkan segala isinya. Bila rembulan kehilangan cahayanya, gelap, buta dan gulita alam ini, bila bintang-bintang indah itu berjatuhan menjadi batu api yang menyala menghantam dan menghancur leburkan apa yang ada di bumi, bila angin yang lembut ini menjadi panas membakar seluruh makhluk di muka bumi, bila bumi bergoncang dengan goncangan yang dahsyat. “Astaghfirullahal ‘adzim laa haula walaa quwata illa billah. Tiada tempat untuk berlindung kecuali kepada Engkau”.
***
Pkl. 21.00. Di balik jendela kayu tak berwarna
Rembulan mulai mempertunjukan cahanya yang terang benderang diiringi tarian bebintang bagai peri-peri kecil dengan gaun cantiknya yang kemerlip indah. Masih dengan instrumen dzikir para jangkrik. Dan kurebahkan tubuh ini di atas tikar kasar dari rerumputan semak-semak belukar menyaksikan indahnya fenomena lukisan alam yang teramat indah di balik jendela kayu tak berwarna ini. Ku ingin jendela kayu tak berwarna ini menjadi saksi atas pengagunganku terhadap Engkau wahai Tuhan. Akan tetap kubuka lebar jendela kayu tak berwarna ini membingkai lukisan alam keagunganMu. Terjaga menemani jiwa yang lemah ini hingga mentari tersenyum kembali kelak di esok hari. Atau tetap terjaga hingga mata ini terpejam untuk selamanya. Ya Tuhan, dengan namaMu aku hidup dalam lukisan alam keagunganMu ini. Dan dengan namaMu ku tinggalkan lukisan alam keagunganMu ini. Hidupkan aku kembali dalam lukisan alam keagunganMu di balik jendela kayu tak berwarna ini. Atau lukisan alam yang lebih indah dari keagunganMu di balik apa yang terbingkai jendela kayu tak berwarna ini. Bismika allahumma ahya wa bismika amut”
a.bakrs
Cairo 12 Oktober 2009
di balik jendela kayu tak berwarna
Categories:
sastra
0 komentar: